Oleh: Erma Regita Sari, S.H.
Perkembangan e-commerce yang pesat mendorong perkembangan alat pembayaran, dari yang awalnya tunai menjadi non tunai. Seiring perkembangannya, alat pembayaran non tunai pun mengalami perubahan menjadi virtual.
Salah satu hal yang memudahkan orang saat ini dalam bertransaksi secara online adalah alat pembayaran virtual atau cryptocurrency.
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia sendiri mata uang crypto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah, hanya Rupiah yang diterima sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Baca Juga: Masa Depan Crypto Ada Di Indonesia?
Meskipun tidak sah sebagai alat pembayaran, namun aset crypto dapat menjadi komoditi yang layak dijadikan subjek dalam Bursa Berjangka. Hal tersebut sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto.
Namun pada perkembangannya, Bursa Berjangka pada perdagangan aset crypto menimbulkan beberapa permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakpahaman investor ketika melakukan perdagangan aset crypto.
Dalam prakteknya, transaksi aset crypto tidak lepas oleh kerugian yang dapat dialami oleh investor ketika melakukan investasi aset crypto dalam Bursa Berjangka.
Untuk itu perlu adanya perlindungan hukum bagi investor agar dapat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan ketika merasa dirugikan dalam transaksi aset crypto.
Nah, sobat YukLegal seperti apa sih perlindungan hukum bagi investor pada transaksi aset crypto dalam perdagangan berjangka komoditi? Yuk langsung saja kita simak pembahasan singkat berikut ini!
Perlindungan Hukum Preventif
“Perlindungan hukum secara preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan sebelum terjadinya suatu pelanggaran dengan tujuan untuk mencegah hal tersebut terjadi.”
Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
Perlindungan hukum secara preventif dalam transaksi aset crypto diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, meliputi:
1. Perdagangan Aset Kripto dalam Bursa Berjangka harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik seperti mengedepankan kepentingan anggota bursa berjangka dalam memperoleh harga yang transparan serta menjamin perlindungan terhadap Pelanggan Aset Kripto
2. Aset kripto yang akan diperdagangkan telah dilakukan penilaian resikonya termasuk resiko money laundering dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.
Untuk mencegah masuknya uang hasil tindak kejahatan atau money laundering pada industri perdagangan berjangka komoditi, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (“Bappebti”) telah mengeluarkan Peraturan Kepala Bappebti Nomor 2 tahun 2016 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Pialang Berjangka yang dikenal dengan prinsip Know Your Customer (“KYC”).
Dalam peraturan tersebut, para pelaku industri perdagangan berjangka komoditi diharapkan dapat menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) terhadap nasabah (investor) sesuai dengan prinsip Customer Due Diligence (“CDD”).
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik juga diatur tentang perlindungan hukum preventif, dimana setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Perlindungan hukum secara preventif juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) terkait wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum, sehingga para pihak yang akan melakukan perjanjian dapat menghindari hal-hal yang dilarang dalam KUHPer.
Perlindungan Hukum Represif
“Perlindungan hukum secara represif adalah perlindungan hukum yang diberikan setelah terjadinya suatu sengketa.”
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Baca Juga: Sanksi Bagi Penanam Modal Asing Yang Melakukan Pelanggaran Investasi.
Sobat YukLegal kira-kira upaya hukum apa ya yang ditempuh ketika terjadi sengketa? Nah, dalam penyelesaian perselisihan terdapat 2 (dua) cara nih yang dapat ditempuh, yaitu secara litigasi dan non litigasi. Yuk kita bahas satu per satu!
1. Litigasi
Secara litigasi atau upaya hukum melalui jalur pengadilan terkait penipuan pada transaksi aset crypto, sengketa dapat diselesaikan baik secara pidana maupun perdata.
Tindak pidana dalam transaksi aset crypto dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), yang mengatur tentang ketentuan pidana dan menjatuhkan hukuman kurungan penjara dan denda.
Terdapat dua jenis tindak kriminal dalam transaksi aset crypto, yaitu:
- Hacking
Hacking atau peretasan bertujuan untuk mengambil data-data tertentu yang dimiliki target dan ada pula peretasan yang bertujuan menghancurkan data atau sistem tertentu sehingga berdampak seperti kerusakan digital.43 Pelaku tindak pidana hacking dapat dikenakan Pasal 30 ayat 1 jo Pasal 46 UU ITE.
- Scam
Penipuan online atau scam berarti menggunakan layanan internet atau software dengan akses internet untuk menipu atau mengambil keuntungan dari korban, misalnya dengan mencuri informasi personal, yang bisa memicu pencurian identitas.
Pelaku dapat dikenakan pasal 28 ayat 1 jo Pasal 45A UU ITE, serta Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian untuk penyelesaian sengketa secara perdata melalui peradilan diatur dalam pasal 38 dan 39 UU ITE serta pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kepada pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata yang disebabkan oleh Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) yaitu penipuan.
2. Non Litigasi
Jalur penyelesaian sengketa non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan biasa disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (“ADR”) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (“APS”).
Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka telah mengatur upaya hukum melalui jalur non litigasi yang dapat ditempuh bagi pihak yang merasa dirugikan.
Upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa tersebut dilakukan melalui Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (“BAKTI”).
BAKTI mengkhususkan diri pada sengketa perdata yang berkaitan dengan Perdagangan Berjangka Komoditi, Sistem Resi Gudang dan/atau transaksi-transaksi lain yang diatur Bappebti.
Selain itu, proses penyelesaian sengketa dalam transaksi aset crypto dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”).
Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
Terkait dengan perlindungan hukum terhadap kerugian yang dialami oleh investor dalam transaksi aset crypto yang disebabkan oleh penipuan pelaku usaha yang menjual aset crypto, investor dapat mengajukan gugatan penyelesaian sengketa kepada BPSK dimana putusan BPSK bersifat final dan mengikat.
Sobat YukLegal, dari ketentuan peraturan-peraturan tersebut, apa sih yang bisa kita ambil kesimpulan? Nah, bener banget nih. Jadi kalian sudah paham ya!
Dapat kita pahami bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengatur perlindungan hukum bagi pengguna cryptocurrency, baik secara preventif maupun represif, sehingga para pihak dapat terjamin keamanan dan kepastian hukum dalam melakukan transaksi crypto.
Sekian dulu ya pembahasan kita kali ini. Bagi kalian yang mau terus dapat insight-insight menarik dari kita jangan lupa kunjungi terus blog YukLegal dan YukLegal | LinkedIn. Sampai jumpa di pembahasan berikutnya!
Sumber:
Muchsin. 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Puspasari, Shabrina. 2020. Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi. Jurist-Diction Vol. 3, No. 1.
Habiburrahman, Muhammad., dkk. 2022. Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Transaksi Cryptocurrency Di Indonesia. Jurnal Education and Development Institut Pendidikan Tapanuli, Vol. 10 No. 2.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.